Jakarta (30/08) – Bidang Perencanaan Tim Pelaksana KKIP (Bidren KKIP) menggelar rapat kedua Tim Kerja Penyelerasan Data Pemenuhan Kebutuhan Alpalhankam pada Kamis, 30 Agustus 2022. Kabidren KKIP, Laksda TNI Darwanto, S.H., M.A.P, selaku pimpinan rapat menyampaikan pertemuan tersebut bertujuan untuk mengetahui perspektif TNI AU selaku pengguna atas peran, capaian, dan harapan penyelenggaraan industri pertahanan untuk kemandirian pemenuhan alat peralatan pertahanan matra laut.
Mewakili TNI AU, Waasrena Kasau Marsma TNI S. Chandra Siahaan, S.I.P., M.Tr. (Han), mengemukakan hingga tahun 2024, TNI AU menyasar pemenuhan berbagai jenis Alpalhankam diantaranya pesawat tempur, pesawat angkut, pesawat intai, helikopter, pesawat tempur tanpa awak, pesawat latih, pesawat VIP/VVIP, radar pertahanan udara, dan peluru kendali pertahanan udara. Secara terperinci Marsma TNI Chandra Siahaan menambahkan berdasarkan perkiraan TNI AU, sulit terpenuhi seluruh kebutuhan postur untuk tahun 2024.
Dalam rangka kemandirian pemenuhan Alpalhankam, TNI AU memiliki kebijakan yang komprehensif bersama industri pertahanan meliputi: menyusun rencana kebutuhan, meningkatkan kerja sama, pengembangan atau produksi bersama, standardisasi kelaikan, pembinaan registrasi dan sertifikasi, mekanisme pendanaan, penguasaan teknologi, promosi produk, pengawasan produk, dan pengendalian produk.
Disamping PT. Dirgantara Indonesia yang memang merupakan andalan, pemenuhan Alpalhan TNI AU juga didukung oleh badan-badan usaha lainnya baik milik negara seperti PT. Len, PT. Pindad, dan PT. Dahana maupun milik swasta seperti PT. Langit Biru Parasut untuk pengadaan parasut personil dan PT. Merpati Wahana Raya untuk pengadaan kendaraan khusus Kopasgat.
Marsma TNI Chandra Siahaan, mengutarakan setidaknya ada dua catatan yang hendaknya menjadi perhatian para pemangku kepentingan terkait. Pertama, kualitas produk hasil pengadaan industri dalam negeri terkadang memprihatinkan atau tidak mampu menyanggupi tuntutan pengguna. Kedua, harga produk luar negeri yang lebih mahal daripada produk yang sejenis dari luar negeri.
Konsekuensinya, industri pertahanan luar negeri memiliki keunggulan kompetitif dan upaya pendayagunaan industri pertahanan dalam negeri. “Kami harapkan mereka (industri pertahanan) harus mau mengupgrade diri sehingga benar-benar kita lihat produksi mereka berguna bagi bangsa dan negara” demikian ditegaskan oleh Marsma TNI Chandra Siahaan.
Mengomentari perihal tersebut, Ketua Bidang Transfer Teknologi dan Ofset Tim Pelaksana KKIP, Dr. Yono Reksoprodjo, DIC, mengemukakan ada 3 aspek yang mesti dibenahi atau diperhatikan. Pertama, adalah pembelian dan penyediaan logistik industri pertahanan yang terlembaga. Kedua, adalah pemberlakuan pajak yang berlapis. Ketiga, adalah penarikan kembali potensi dan aset sumber daya manusia pertahanan dari luar negeri melalui program-program pengembangan Alpalhankam.
Pakar industri pertahanan asal Universitas Pertahanan, Romie Bura, Ph.D., menceritakan bahwasanya TNI AU dan PT. DI pernah menunjukkan kolaborasi yang excellent. Bapak Romie yang juga merupakan pelaku sejarah fase awal program KFX/IFX menyampaikan permintaan spesifikasi teknis pesawat yang diinginkan oleh TNI AU kala itu terakomodasikan dengan baik pada purwarupa yang ingin dikembangkan.
Kepala Sekretariat KKIP, Marsma TNI Ir. Wajariman, M.Sc, sekaligus sebagai Dirtekindhan Ditjen Pothan Kemhan menjelaskan bahwasanya upaya pembangunan ekosistem industri pertahanan selama ini masih terganjal oleh kecenderungan badan-badan usaha pertahanan “berebut” untuk menjadi tier-1 industri pertahanan. Kondisi ini menyebabkan piramida terbalik yang mana justru industri komponen dan bahan baku jauh lebih sedikit daripada industri alat utama.
Secara umum, Laksda TNI (Purn) Darwanto mengapresiasi adanya komitmen yang jelas serta penyampaian kendala yang transparan dari TNI AU selaku pengguna Alpalhankam.