Tulisan Artikel Juara Pertama Lomba Blog Nasional KKIP dengan tema “Pemenuhan kebutuhan ALPALHANKAM (Alat Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan) secara mandiri oleh industri pertahanan” oleh Aditya Nirwana.
*Bagian 3
————————————————————————————————————————————————————————-
Tapi menurut saya, yang paling sukses adalah Brazil dengan A-29 Super Tucano-nya. Di bawah ‘tangan dingin’ kolongmerasi aerospace Brazil, Embraer Defense and Security, Super Tucano menjadi primadona dalam berbagai laga di lebih dari 18 negara. Seperti yang diketahui, insurgensi, kejahatan trans-nasional, dan terorisme menjadi ancaman bersama di negara-negara Amerika Selatan dan Afrika. Sebagai pesawat ground attack dan counter-insurgency, Super Tucano efektif dalam memporak-porandakan pertahanan pemberontak yang bergerilya. Columbia menggunakan Super Tucano untuk menggempur FARC dalam berbagai operasi, Dominica, Ekuador, dan Honduras juga menggunakannya untuk kontra-insurgensi dan memerangi kartel narkoba.[14] Tak ketinggalan AS juga membeli lisensi untuk memproduksi Super Tucano di negerinya melalui Sierra Nevada Corporation. Di samping digunakan AS untuk memerangi gerilyawan Taliban, dan digunakan oleh angkatan bersenjata Afganistan, pesawat turboprop ini juga digunakan oleh private contractor Blackwater Worldwide yang ganasnya bukan main itu.[15]
A-29 Super Tucano Angkatan Udara Afghanistan berpatroli di atas Kabul. Sumber : US Air Force photo (Public domain in US)
Peluang Kemandirian di Tengah Ancaman
Kesuksesan Super Tucano ini tentu tidak lepas dari bagaimana Brazil mampu memahami ancaman dan juga peluang di saat yang bersamaan. Di kawasan ASEAN, ancaman yang dihadapi agaknya tidak jauh berbeda. Dalam pertemuan Bali Concord II di Denpasar tahun 2003, kajian terhadap ancaman yang harus dihadapi negara-negara ASEAN di tahun 2020 sebenarnya telah dilakukan. Dalam sebuah artikel berjudul Impact of Geopolitical and Security Environment in 2020 on Southeast Asian Armies: Forging Cooperative Security, yang disusun oleh perwira militer dari 5 negara ASEAN, mengemukakan bahwa ancaman keamanan yang akan dihadapi oleh ASEAN di tahun 2020 diantaranya; 1) The revival of religious extremism; 2) Ethno–religious conflicts and separatism; 3) Regional terrorism; dan 4) Problem trans-nasional.[16] Kita bisa saksikan, memang demikian yang terjadi, baik di negeri kita, belum lama ini juga di Filipina, Malaysia, dan negara ASEAN yang lain.
Melihat hal ini, tampaknya lebih strategis jika Indonesia mengembangkan pesawat ground attack dan counter–insurgency bermesin turboprop ketimbang jet fighter. Mengapa? Mungkin yang pertama, ada ancaman yang sudah tidak lagi laten, mengenai terorisme dan insurgensi/separatisme, dan hal itu menjadi ancaman bersama ASEAN. Artinya, ada ancaman dan ada peluang. Filipina misalkan, ancamannya cukup lengkap, yakni religious conflicts, extrimism, insurgensi, dan kartel narkoba, semua ada di sana. Lalu kita juga melihat bagaimana T-50 Golden Eagle memegang peran penting dalam kemenangan militer Filipina terhadap gerombolan Isnilon Hapilon di Marawi. Namun, T-50 Golden Eagle ini bagi Duterte terlalu mahal. Di tahun 2016, saat mengetahui AU Filipina akan membeli 12 jet tempur, ia mengatakan demikian : “We only have what, two FA-50s? Why did you buy that? What a waste of money. You cannot use them for anti-insurgency, which is the problem at the moment. You can only use these for ceremonial fly-by.”.[17] Sebagaimana yang dapat disaksikan di pertempuran Marawi, jika hanya untuk menjatuhkan bom ke daratan, tampaknya bisa dilakukan meski hanya dengan OV-10 Bronco. Jika Indonesia mampu mengembangkan ground attack dan counter–insurgency bermesin turboprop dengan harga yang lebih murah dari Super Tucano, namun dengan teknologi di atas OV-10 Bronco, tentu, menurut saya, memiliki potensi pasar yang cukup bagus di ASEAN. Lagipula, sejauh pengamatan, Super Tucano masih belum memiliki kompetitor yang sebanding di ASEAN.
Alasan yang kedua, secara tingkat kesiapan teknologi industri Indonesia sudah sangat siap. Kolaborasi antara PT Dirgantara Indonesia dengan PT Nusanatara Turbin & Propulsi saya pikir dapat menghasilkan rantai produksi yang andal. Menilik katalog industri pertahanan Indonesia di website KKIP (www.kkip.go.id), di mana PT DI sudah berpengalaman memproduksi CN235, NC212i, dan banyak jenis helikopter lainnya, ditambah pengalaman PT Nusanatara Turbin & Propulsi sebagai pusat unggulan di dalam bidang rekayasa, perawatan, perbaikan dan overhaul sistem turbin gas dan rotating equipment terkemuka di Asia Tenggara, serta telah mengantongi beragam manufacture license, baik dari Rolls Royce maupun General Electric, mustahil rasanya pesawat ground attack bermesin turboprop tidak dapat dikembangkan 100% di Indonesia. Alasan yang ketiga, pembuatan pesawat ground attack bermesin turboprop ini merupakan sebuah bentuk upaya menangkal ancaman dengan segenap kemampuan dan sumber daya yang dimiliki sendiri, sekaligus kemandirian pemenuhan kebutuhan alat peralatan pertahanan dan keamanan. Namun bukan berarti saya pesimis, atau tidak yakin terhadap kemampuan Indonesia dalam proyek KF-X/IF-X. Meski dalam waktu yang singkat harus mengejar tingkat kesiapan teknologi, Indonesia cukup mampu, buktinya proyek ini sampai hari ini terus berlanjut. Target harus tetap tercapai di tahun 2026.
[Masih Berlanjut...]