Tulisan Artikel Juara Pertama Lomba Blog Nasional KKIP dengan tema “Pemenuhan kebutuhan ALPALHANKAM (Alat Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan) secara mandiri oleh industri pertahanan” oleh Aditya Nirwana.

 

*Bagian 2

————————————————————————————————————————————————————————-

Di akhir tahun 2017 saat pertemuan Menhan (saat itu Ryamizard Ryacudu) dengan perwakilan Lockheed Martin di Jakarta, Menhan menyatakan bahwa Indonesia membutuhkan dukungan transfer teknologi dari Lockheed Martin, sehingga para insinyur Indonesia dapat sejajar dengan para insinyur dari Korea Selatan dalam proyek KF-X/IF-X. Lockheed Martin, kalaupun bersedia melakukan transfer teknologi – toh tidak bisa berbuat banyak, karena jauh sebelumnya, ternyata Pentagon menolak transfer teknologi terkait beberapa teknologi utama dalam pengembangan KF-X, tujuannya untuk mempertahankan keunggulan teknologi canggih jet tempur stealth F-35A Lightning II, termasuk komponen radar Active Electronically Scanned Array (AESA).[9] Menurut saya, proyek ini sangat krusial karena merupakan pengalaman pertama bagi Indonesia mengembangkan pesawat tempur, dan agaknya menentukan roadmap research & development teknologi pertahanan ke depan. Krusial, lagi penuh resiko. Dalam sebuah kajian mengenai resiko dalam proyek KF-X/IF-X, peneliti Universitas Pertahanan Indonesia, Salsabiela et.al. menemukan bahwa aspek teknologi adalah resiko yang paling dominan. Pertama adalah tingkat kesiapan tekonologi. KF-X/IF-X dikembangkan sebagai jet tempur generasi 4.5, sedangkan Indonesia belum memiliki pengalaman mengembangkan jet tempur sekalipun generasi di bawahnya. Maka tingkat kesiapan teknologi industri Indonesia harus dikejar sedemikian rupa. Kedua, sebagian besar teknologi dikembangkan oleh perusahaan swasta AS, untuk mentrasfer teknologi (dan juga pengetahuan) Korsel harus mendapat persetujuan dari AS. Lockheed Martin sebagai konsultan teknis sekaligus koordinator perusahaan-perusahaan yang terlibat juga terikat oleh kebijakan pertahanan dan keamanan AS.[10] Hal ini, mau tidak mau Indonesia harus menjalin hubungan yang sangat dekat dengan AS, bahkan dalam beragam aspek.

Menurut saya, melalui T-50/FA-50 Golden Eagle serta dominasi dalam pengembangan teknologi persenjataan global di negara-negara Asia (khususnya ASEAN), AS sedang memperbesar pengaruhnya di kawasan Asia Pasifik. Hal ini, tentu disamping upaya hardpower lain seperti keberadaan pangkalan militer di Australia, Singapura, dan Guam, serta latihan gabungan bersama negara-negara ASEAN. AS dalam hal ini juga memiliki kepentingan geopolitik terhadap Laut Tiongkok Selatan, yang sudah barang tentu terkait cadangan migas. Dominasi AS dalam pengembangan teknologi persenjataan negara-negara ASEAN ini tentu semakin memperkeruh Konflik Laut Tiongkok Selatan. Tiongkok mencurigai beberapa negara anggota ASEAN telah membiarkan atau bahkan memfasilitasi kebijakan Amerika yang bersumbu di Asia (salah satu kebijakan luar negeri pemerintahan

Obama) dan melibatkan Amerika dalam konflik Laut Tiongkok Selatan. Hal semisal pada bagaimana Amerika mendukung klaim Filipina pada Laut Tiongkok Selatan secara diam-diam. Akhirnya, setelah terjadi insiden dengan Filipina dan Vietnam, China bersikap agresif dengan menguasai kepulauan Spratly dan Paracel, dan kemudian membangun pangkalan laut di kepulauan itu.[11] Ketidaksaling-percayaan antara Tiongkok dengan negara-negara pasifik ini menyebabkan kemelut yang semakin kompleks. Setelah beberapa waktu yang lalu sempat memanas karena coastguard Tiongkok memasuki wilayah perairan Natuna, agaknya Konflik Laut Tiongkok Selatan ini akan menemui jalan agak panjang. Negara-negara ASEAN terombang-ambing diantara dua kekuatan besar, AS dan Tiongkok.

HAL Tejas mengudara. 
Sumber : Venkat Magudi (Creative Commons Attribution-Share Alike 2.0 Generic)

‘Mengintip’ India, Iran, dan Brazil

 

Refleksi yang muncul dalam benak saya adalah ketika pemenuhan pemenuhan industri pertahanan secara autarchy menjadi semakin ‘utopis’, dan pembelian alat utama sistem pertahanan hanya akan menguntungkan dan semakin memperkuat hegemoni negara-negara adidaya militer terhadap negara berkembang, sedangkan berbagi sumberdaya dengan mereka juga mendatangkan ancaman dalam bentuk baru. Lalu bagaimana kemandirian industri pertahanan Indonesia harus didefinisikan? Jujur saja, sebagai warga negara biasa saya tidak tahu. Tetapi saya teringat jet tempur multi-role HAL Tejas buatan India. Meski secara teknologi berada di bawah KF-X/IF-X (jet tempur generasi 4), dengan konsultan Dassault-Breguet Aviation (Prancis), Tejas ‘nyaris’ dikerjakan secara mandiri oleh Aeronautical Development Agency (ADA) and Hindustan Aeronautics Limited (HAL). Meski pada awalnya Tejas menggunakan mesin turbojet GTRE GTX-35VS Kaveri buatan India sendiri, lalu karena kebutuhan peningkatan performa harus diganti dengan General Electric F404, namun seluruh komponen jet tempur ini diproduksi di dalam negeri oleh perusahaan domestik India. Setelah sebelumnya India harus bertahan dengan menjadikan jet tempur legendaris MiG-21 sebagai tulang punggung angkatan udara, serta berdarah-darah karena kehilangan banyak pilot terbaiknya karena plat besi berkarat era perang Vietnam itu.[12]

HESA Kowsar lepas landas, 100% buatan Iran?. 
Sumber : Tasnim (Creative Commons Attribution-Share Alike 4.0 International)

Di samping Tejas, memanasnya hubungan AS dan Iran akhir-akhir ini membuat saya penasaran mengenai multirole fighter HESA Kowsar buatan Iran. Meski jet tempur generasi 4 ini dituduh menjiplak Northrop F-5 Tiger buatan AS, panglima IRIAF Aziz Nazirzadeh menegaskan itu hal tidak benar. Ia mengklaim semua komponen dikerjakan oleh peneliti muda Iran, bahkan untuk komponen seperti murbaut, sekrup, dan lain sebagainya, semua dikerjakan di Iran.[13] Ia juga melanjutkan bahwa Kowsar adalah hasil dari kolaborasi antara 10 Universitas terbaik Iran, 63 lembaga riset, 72 perusahaan kontraktor domestik, dan 44 perusahaan supplier domestik. Apakah benar HESA Kowsar jiplakan Northrop F-5? Sekilas memang mirip, namun sebaiknya tidak berlarut-larut dalam hal itu, biarlah dunia yang menilai. Setidaknya India dan Iran telah membuat jet tempurnya sendiri ‘nyaris’ secara autarchy. Bagaimana tidak? Iran sendiri diembargo. Toh, sudah menjadi keumuman, ketika negara-negara berkembang membangun teknologinya sendiri tanpa melibatkan negara-negara maju, bakal menjadi bahan olok-olokan. Seperti nuklir – sedikit saja kekurangan, dapat menjadi bahan bakar hujatan yang maha dahsyat.

 

[Masih Berlanjut...]
Translate »