Tulisan Artikel Juara Pertama Lomba Blog Nasional KKIP dengan tema “Pemenuhan kebutuhan ALPALHANKAM (Alat Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan) secara mandiri oleh industri pertahanan” oleh Aditya Nirwana.

 

*Bagian 1

————————————————————————————————————————————————————————-

 

Awalnya, saya benar-benar ragu ketika akan menuliskan barang secuil ide-ide atau gagasan – apakah itu tentang pertahanan dan keamanan, atau hal-hal yang ‘berbau’ militer. Ada pasal; sebagai seorang praktisi pendidikan dan industri kreatif, hidup saya, nyaris tak pernah bersangkut-paut dengan hal ihwal pertahanan. Kecuali, obrolan ringan di warung kopi dengan dua – tiga orang kawan yang kebetulan berdinas sebagai TNI-AU, dan seorang sahabat Brimob. Kakek saya, seorang TNI-AD, tapi angkatan ‘45. Ketika saya masih kecil beliau sudah pensiun, sehingga – ketimbang menggendong senjata, kakek lebih sibuk menggendong cucunya ini. Pun, ketimbang berperang, kakek lebih banyak terlihat bertani dan merawat sapi. Kepada saya, kakek tak sempat mengemukakan visinya mengenai pertahanan dan keamanan, sayapun tak pernah bertanya, ia wafat hampir 30 tahun yang lalu. Jadi, saya benar-benar awam. Tapi begini, dalam perspektif sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta, saya (dan mungkin juga Anda) yang akademisi cum desainer grafis ini termasuk komponen cadangan atau pendukung sistem pertahanan negara. Jadi boleh dikatakan, tulisan saya ini sakadar uneg-uneg yang – meski dan jelas bukan tandingan kawan-kawan sarjana ilmu pertahanan, atau hubungan internasional, setidaknya kali ini saya berhasil menulis yang ‘boleh-boleh saja’, dan juga dengan ‘genre’ yang benar-benar belum pernah saya tulis. Toh, saya pikir memang demikianlah fungsi blog.

Jadi, rapat kerja perdana Menteri Pertahanan (Menhan) Republik Indonesia, Prabowo Subianto, dengan Komisi I DPR-RI pada bulan November 2019 lalu, berlangsung ‘agak gaduh’ lantaran hujan interupsi terkait perbedaan persepsi mengenai pemaparan anggaran pertahanan yang disampaikan secara terbuka atau tertutup. Akhirnya, rapat diputuskan ‘semi-tertutup’, terbuka pada bagian pendahuluan yang sifatnya umum dan visioner, dan tertutup pada bagian komponen anggaran yang sifatnya lebih teknis dan detail. Ada dua hal yang menurut saya menarik di sana, pertama; dalam pemaparan yang visioner Menhan mengatakan; “Saya bersyukur, dari beberapa hari berkeliling, ternyata sebetulnya kita mampu membuat propellant, bahan yang penting untuk membuat peluru dan roket. Semua bahan bakunya ada di Indonesia. Saya optimis, dalam waktu yang tidak lama lagi Indonesia akan memiliki industri pertahanan yang kuat!”Meski saya harus berkorban rasa penasaran karena rapat pembahasan mengenai teknis dan detail anggaran kemudian disampaikan secara tertutup, namun sesuatu yang disampaikan di bagian awal biasanya penting, dan saya yakin penguatan industri pertahanan Indonesia menjadi prioritas anggaran pak Menhan lima tahun ke depan. Kedua, yakni apa yang dikemukakan TB Hasanuddin; “Anggaran di dalam pertahanan itu berbasis kinerja. Tapi kalau dalam pertahanan, berbasis ancaman, atau biasa dengan hakikat ancaman…,namanya standar penangkalannya minimum. Sehingga lahirlah minimum essensial cost, harusnya maximum essesisial cost kan begitu.”

Apa yang dapat saya tangkap dari TB Hasanuddin adalah bagaimana biaya pertahanan dianggarkan dengan berbasis pada ancaman yang dihadapi. Dengan biaya itu, diharapkan dapat menghasilkan daya tangkal yang paling optimal (maksimal), bukan daya tangkal minimal. Apa yang dikemukakan oleh Menhan dan TB Hasanuddin bagi saya sangat berkaitan, karena menyiapkan kemandirian tentu berawal dari pemenuhan kebutuhan, dan kebutuhan tentu dapat diidentifikasi berdasarkan ancaman yang dihadapi. Artinya, kemandirian industri pertahanan berawal dari bagaimana bangsa ini mampu menangkal ancaman dengan segenap kemampuan dan sumber daya yang dimiliki sendiri.

 

Kemandirian yang “Terbatas”

Menyoal masalah kemandirian industri pertahanan, kerap problematik. Pasca perang dingin, terjadi redefinisi mengenai arti ‘perang’ dan ‘damai’, batas-batas di antara keduanya kerap kabur. ‘Perang’ seringkali tak tertangkap mata karena terjadi pada lini ekonomi, politik, dan perlombaan teknologi termasuk teknologi pertahanan. Menilik kajian Witarti & Armandha, negara-negara adidaya seperti AS dan negara-negara Eropa kini tidak lagi mengembangankan pertahanannya dengan cara autarchy (membangun industri secara mandiri penuh), namun dengan jalan me-liberalisasi industri pertahanannya. Autarchy juga menjadi sulit dilakukan karena semakin ketatnya persaingan teknologi pertahanan di dunia, maka berbagi sumberdaya melalui liberalisasi dipandang menjadi jalan keluar.[1] Namun, hendaknya hal ini tidak hanya dipandang sebagai sebuah bentuk ‘perhatian’, atau bahkan ‘kebaikan budi’ negara-negara adidaya militer kepada negara-negara dengan military strength di bawah mereka. Melampaui itu, hal ini merupakan upaya ekonomi – militer yang dilakukan melalui paten atau lisensi. Eksesnya, rantai produksi persenjataan global secara tidak langsung tetap berada di bawah kendali negara adidaya militer. Dalam pandangan saya, ‘kemandirian’ ini menjadi problematik ketika apa yang disangka telah ‘mandiri’, ternyata tidak benar-benar ‘mandiri’.

Survei Global Firepower tahun 2019 menempatkan Korea Selatan pada peringkat ke-7 kekuatan militer terkuat di dunia. Tentunya kita juga mengakui kemasyhuran multirole fighter KAI T-50/FA-50 Golden Eagle buatan Korea Selatan (Korsel) itu berlaga dalam setiap kecamuk di Asia. Belum lama pula, kita juga melihat bagaimana jet tempur tersebut memegang peran penting dalam kemenangan militer Filipina terhadap gerombolan Isnilon Hapilon di Marawi.[2] Karena dianggap efektif di negara kepulauan, jet tempur ini laris manis terutama negara-negara sentral di Asia Tenggara. Sejauh yang saya tahu, Indonesia memiliki belasan T-50/FA-50. T-50/FA-50 banyak dipahami sebagai “The first indigenous supersonic aircraft” Korsel, namun siapa sangka Lockheed Martin juga punya peran sentral dalam pengembangannya. Jet tempur ini digerakkan oleh mesin jet General Electric F404-102 turbofanairtoground missiles menggunakan AIM-9 Sidewinder (buatan Raytheon Company dan Loral corp – AS) dan AIM-120 AMRAAM (buatan Hughes Aircraft Company, kini diakuisisi oleh Raytheon). Adapun landing gear dikerjakan oleh Messier Dowty, anak perusahaan Safran Landing Systems (Perancis); sistem bahan bakar dikerjakan oleh Argo-Tech (AS); power system dikerjakan oleh Hamilton Sundstrand (USA); digunakan pula senapan mesin 20mm M197 gatling gun produk General Dynamics (USA); cockpit ejection seats dikerjakan oleh Martin Baker (AS); landing system dikerjakan oleh Rockwell Collins (AS); Head Up Displays (HUD) dikerjakan oleh BAE Systems (Inggris); dan yang paling mengejutkan adalah komponen avionics (meliputi perangkat komunikasi, navigasi, monitoringfuel systemswaeather system, dan seluruh aircraft management system lainnya) dikerjakan seluruhnya oleh Lockheed Martin.[3]

T-50I Golden Eagle milik TNI-AU (Sumber : Korean Aerospace Industries Flickr). 
License : Creative Commons Atribusi 2.0 Generik


Flug Revue menyebut peran korporasi Amerika Serikat dalam pengembangan jet tempur ini mencapai 55%. Agaknya, kita tidak sedang membeli T-50/FA-50 dari Korsel, namun dari AS. Saya menjadi heran, bagaimana mungkin dengan konfigurasi semacam ini, T-50/FA-50 Golden Eagle disebut sebagai jet tempur ‘indigeneous’. Pesawat ini dibuat setelah lisensi F-16 berakhir tahun 1992 di Korea Selatan, lalu kemudian Lockheed Martin merasa ‘bertanggungjawab’ untuk membantu Korsel mengembangkan pesawat latih berperforma tinggi, dan tentu mampu membuat para pilot Korsel siap menjadi ‘joki’ jet tempur lain, yang tentunya – juga besutan Lockheed Martin. Hal ini yang kemudian membuat konsep pertahanan menjadi semakin kabur, karena spektrum kekuatan kini hadir bersamaan dengan spektrum ancaman. Pengendalian pasar terhadap komponen teknologi pertahanan tersebut dapat menentukan ancaman suatu negara, karena pasokan persenjataan berpengaruh terhadap daya serang suatu negara. Produksi persenjataan dan daya serang negara-negara ASEAN saat ini, secara tidak langsung masih tetap berada di bawah kendali negara adidaya militer, terutama Amerika Serikat. Agaknya, kondisi yang sama juga dialami proyek jet tempur Korsel – Indonesia KF-X/IF-X, yang beberapa waktu lalu sempat ‘dinego’ kembali oleh Menhan, dan Menkopolhukam.

Proyek Korean Fighter Xperiment (KF-X)/Indonesia Fighter Xperiment (IF-X), disebut demikian karena sampai saat masih dalam tahap pengembangan – eksperimen. Proyek pengembangan multirole fighter ini merupakan kerjasama dua negara melalui KAI (Korean Aerospace Industries – joint venture dari Samsung Aerospace, Daewoo Heavy Industries, dan Hyundai Space and Aircraft Company), dan PT DI (PT Dirgantara Indonesia). Dimulai pada 2001 (studi awal), proyek ini direncanakan sampai pada tahap pengembangan prototype pada 2021, dan first flight di 2022. Indonesia bergabung pada proyek ini di tahun 2010, dengan mengirim tim ahli dari TNI-AU, Institut Teknologi Bandung (ITB), dan PT DI ke Korsel.[4] Dari 100% pembiayaan proyek, 80% dilakukan oleh Korsel, dan 20% oleh Indonesia. Tujuan awal dari proyek KF-X adalah memproduksi 120 jet tempur mutakhir untuk menggantikan armada F-4 Panthom II dan F-5 Tiger milik Korsel yang sudah mulai menua.[5] Bulan Juli 2016, Hanwha Techwin menandatangani perjanjian dengan General Electiric untuk memproduksi mesin turbojet GE F414 secara lokal untuk pesawat KF-X.[6] Tahun 2017 Korsel menujuk Texstars LLC untuk membuat kanopi, dan Triumph Group Inc. untuk membuat ‘gearbox’ KF-X.[7] Beberapa perusahaan swasta tersebut berbasis di AS, belum termasuk kontribusi SAAB (Swedia) untuk pembuatan sistem radar, United Technologies Corporation untuk pembuatan sistem kontrol, dan Martin-Baker untuk seat ejection. Tidak lupa pula ‘sahabat lama’ Korsel, Lockheed Martin sebagai konsultan teknis.[8]

Miniatur KF-X di Seoul ADEX 2017. 
Sumber : Alvis Jean (Creative Commons Attribution-Share Alike 4.0 International)


[Masih Berlanjut....]
Translate »